Selasa, 01 Mei 2012

Laki-laki Penenun dari Tapanuli Selatan
Advenius Ritonga
Pada awal tahun 1980-an, masyarakat Siporok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, masih percaya, laki-laki yang berprofesi sebagai penenun bakal menimbulkan bencana. Advenius Ritonga (50) mendobrak tradisi bahwa menenun adalah pekerjaan perempuan.
Dobrakan Adven di kemudian hari ternyata membuat Tapanuli Selatan memiliki kain tenun khas. Tidak itu saja. Bahkan, pegawai negeri sipil yang bertugas di kabupaten tersebut kini memiliki seragam tenun khas Tapanuli Selatan yang diproduksi di Silungkang, Sipirok, kampungnya.
Mendobrak tradisi bukanlah perkara gampang. Apalagi di tengah tradisi masyarakat yang sudah turun- temurun. Gara-gara menenun, rumah Adven pernah dilempari batu oleh para tetangga sekampungnya. Dia tidak dianggap anak oleh orangtuanya sendiri. Tidak itu saja, tiap hari yang ia dengar adalah makian dari mereka yang tidak bisa menerima seorang laki-laki menenun.
”Saya dulu menangis setiap hari dan berdoa supaya tenun bisa dipandang orang,” kata Adven menceritakan nasibnya pada awal tahun 1980.
Sebenarnya kecintaan Adven pada tenun bukanlah karena upayanya melestarikan tenun atau keinginan lainnya. Kenekatannya mendobrak tradisi dengan menenun itu semata-mata karena desakan ekonomi. Menjelang remaja, pria lulusan sekolah dasar itu mulai mengenal rokok. ”Zaman dulu, kalau enggak merokok kan, tidak dianggap laki-laki,” kata Adven.
Kebutuhan untuk membeli rokok itu membuat dia pusing karena ekonomi keluarganya pas-pasan. Sementara sebagai remaja, dia sendiri tak berpenghasilan karena tidak bekerja. ”Lama-lama saya bisa berbuat jahat karena tak punya uang,” katanya.
Saat itu ia tengok para tetangga, banyak ibu yang membuat ulos dengan alat tenun tradisional atau gedogan. Adven pun mulai mendekati mereka dan belajar bagaimana cara menenun. Karena laki-laki dianggap tabu menenun, ia pun mempelajari diam-diam, lalu mencatatnya di rumah. Setelah ilmu ia dapat semua, ia mengambil beras ibunya satu kaleng dan menjualnya ke pasar. Hasil penjualan beras itu ia belikan seperangkat alat tenun.
Keluarganya ternyata tidak mendukung niat Adven menenun. Alat tenun itu dilempar dari kamarnya di lantai dua ke lantai satu oleh ibunya. Bahkan, orangtuanya pun tidak memberi jatah makan.
Namun, dia tidak menyerah. Diam- diam ia tetap menenun dan hasilnya dia jual ke pasar. Jual satu, beli bahan lagi, begitu seterusnya. Suatu hari, ketika keluarganya sedang paceklik, dia meletakkan uang penjualan hasil tenunannya di atas koper barang berharga. Ternyata diambil orangtuanya untuk membeli beras. ”Mama saya menangis. Mulai saat itu, saya diterima keluarga sebagai penenun,” kenangnya.
Mulai dikenal
Rupanya hasil karya Adven mulai dikenal masyarakat, khususnya pada tahun 1983 saat Direktur Utama PT Pupuk Kaltim James Simanjuntak hendak menikahkan anaknya. Ia mencari tenun ulos terbaik di Tapanuli Selatan dan menemukan di Pasar Sipirok. Penjual mengatakan, itu karya Adven. Keluarga James pun mencari Adven dan memesan ulos dengan warna khas Karo tetapi bermotif Tapanuli Selatan.
”Saya cari bahannya ke Balige (Tapanuli Utara). Lalu, hasilnya kami kirim melalui pos ke Jakarta. Beliau kirim dananya dengan wesel,” kata Adven.
Ulos karyanya semakin mendapat perhatian. Ulos hasil tenunannya pernah masuk salah satu acara televisi, ”Dian Rana”, di TVRI dan dipersembahkan untuk Presiden Soeharto pada tahun 1983.
Tahun 1985, pemerintah meliriknya dan mengirim Adven untuk mengikuti pelatihan menenun. ”Ada 40 orang yang ikut, cuma saya yang lulus,” katanya.
Adven juga menciptakan ulos dengan manik-manik dan membuat motif pohon beringin dengan daun dan akar serta motif rumah adat atau Haruaya Namardomubulung. Keberaniannya mengubah tradisi itu membuat ia pun disidang oleh adat di Balai Desa Pasar Siporok.
Ia juga mencoba ulos berbahan polister yang bisa memungkinkan ulos dicuci sebab selama ini ulos tak bisa dicuci. Ia pun belajar tidak hanya menenun dengan gedokan, tetapi juga dengan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Hasil pekerjaannya yang rapi membuat ulos karyanya dicari banyak orang, termasuk para pejabat. Bahkan, Megawati Soekarnoputri, saat menjabat presiden, juga memiliki ulos hasil tenunan Adven.
Tenun khas Tapanuli Selatan akhirnya muncul menjadi pakaian dinas pegawai negeri sipil di kabupaten itu pada masa kepemimpinan Bupati Tapanuli Selatan Ongku P Hasibuan 2005-2010. Semua itu bermula saat istri Bupati, Ny Anna Ongku Hasibuan, tahun 2007 datang ke rumahnya dan memintanya memproduksi tenun untuk baju seragam PNS Tapanuli Selatan.
Untuk memenuhi pesanan tersebut, ia mendesain motif tenun dengan 20 macam warna. Dari desain-desain itulah, terpilih satu warna coklat muda yang kemudian dipakai untuk seragam PNS di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Untuk memadukan warna-warna itu, Adven menimba ilmu dari desainer kondang, seperti Samuel Wattimena dan Merdi Sihombing. Kedua desainer terkenal tersebut sengaja didatangkan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan untuk memberi pelatihan kepada Adven dan para penenun lain. Hasil tenunan Adven yang lain juga digunakan sejumlah selebritas negeri ini.
Lalu, bagaimana cara memproduksi 8.000 potong kain kebutuhan PNS di Tapanuli Selatan? Pemerintah Kabupatan Tapanuli Selatan saat itu memberi modal pertama sebesar Rp 100 juta. Adven menggunakan uang tersebut untuk membeli 10 unit ATBM. Tidak itu saja, ia juga harus memberi pelatihan kepada banyak orang untuk belajar menggunakan ATBM.
”Ada untung, beli ATBM lagi, begitu seterusnya hingga ada 50 unit ATBM di Sipirok,” papar Adven. Kini ada sekitar 100 perajin yang bisa menggunakan ATBM dan memproduksi tenun khas Tapanuli Selatan di Sipiriok.
Adven, dengan dibantu sejumlah penenun, kini bisa memproduksi 50 lembar kain setiap hari. ”Kami masih berharap ada bantuan untuk pelatihan menjahit supaya semakin banyak yang terbantu ekonominya,” katanya.
Sehelai ulos buatannya dijual Rp 180.000-Rp 400.000. Ada juga yang dijual Rp 1,5 juta per helai, bergantung pada kehalusan bahannya.
Meskipun karyanya digunakan banyak orang, Adven tetap bapak yang sederhana, yang tetap pergi ke ladang seperti layaknya petani di desa.